Widgetized Footer

Monday 11 March 2013

Sempat Dianggap Tukang Pijat, Kini Jadi Tempat Curhat


Fortunella Levyana

TAK banyak klub sepak bola di Indonesia yang memiliki fisioterapis. Apalagi, seorang perempuan. Fortunella Levyana menjadi satu-satunya fisioterapis perempuan di sepak bola Indonesia.
------------
MUHAMMAD AMJAD, Bandung
-----------
Seorang perempuan muda terlihat berjalan sendiri di mes klub Indonesia Super League (ISL) Pelita Bandung Raya (PBR) di Pusdikajen Maribaya, Lembang, Jawa Barat.
Dia keluar masuk kamar pemain. Tak lazim memang, seorang perempuan muda berada di kawasan mes klub yang isinya laki-laki. 

Namun, Nella, sapaan akrab Fortunella Levyana, terbiasa melakukan kegiatan itu untuk memantau kondisi para pemain PBR. Sebagai fisioterapis, tugasnya adalah menjaga dan melihat perkembangan pemain setelah melakoni pertandingan.

Dia harus selalu siaga jika ada pemain yang cedera, baik ringan maupun berat. Karena itu, tak jarang dia harus keluar masuk kamar pemain. "Itu menjadi tugas saya. Saya harus terus menyupervisi pemain," katanya kepada Jawa Pos.

Sebagai perempuan, Nella sempat merasa risi. Sebab, dia harus bekerja di sekitar pemain bola yang seluruhnya lelaki. Karena itu, awal menjalani tugasnya dia sempat merasa aneh. Dia sempat kagok karena menjadi satu-satunya perempuan yang berada di mes dan harus keluar masuk kamar pemain laki-laki.

Satu minggu pertama tugas Nella tak bisa maksimal. Alasannya, dia harus beradaptasi dengan dunia sepak bola dan budaya pemain. Nella tidak bisa langsung menanyakan kondisi pemain. Dia pun tidak langsung masuk ke kamar mereka.

"Pernah ketuk-ketuk pintu, tapi pemain nggak keluar-keluar. Mau masuk takut, tapi harus memeriksa. Saya terpaksa menunggu hampir sejam di luar kamar. Eh, ternyata pemainnya tidak di kamar," ujarnya menceritakan pengalamannya saat awal bekerja.

Aktif menjadi fisioterapis klub ISL mulai 4 Januari lalu, Nella butuh waktu hampir sebulan untuk membiasakan diri. Terlebih, mayoritas pemain di PBR belum mengerti tugas fisioterapis. Pemain juga masih malu-malu untuk ditangani perempuan.

Jadilah, saat menjalankan pekerjaannya dara 21 tahun itu harus sambil menjelaskan fungsi dan nilai positif fisioterapi. Dia harus melakukan edukasi dan "kuliah" kepada setiap pemain yang belum paham tentang fungsi fisioterapi.

Dari pengalaman awal bekerja, Nella harus melawan budaya pesepak bola yang lebih percaya kepada tukang urut. Bahkan, awalnya dia dianggap sebagai bagian dari tim yang bisa memijat. 

"Fisioterapis bukan tukang urut atau tukang pijat. Kami lebih ke sport science. Pemain masih mengira fisioterapis itu seperti tukang pijat," katanya.

Menurut dia, fisioterapi memang tak senyaman dipijat tukang urut. Menjalani fisioterapi lebih melelahkan daripada dipijat. Namun, bukan berarti dirinya mengerdilkan masseur klub. Hanya, dia menyebut harus ada pembagian tugas yang jelas.

"Harus ada porsinya sendiri. Untuk recovery, penanganan kondisi pemain dan cedera, itu job desk saya. Masseur lebih ke arah relaksasi," tutur alumnus Jurusan Fisioterapi UI tersebut.

Memasuki bulan ketiga di sepak bola, Nella semakin dekat dengan para pemain. Skuad PBR mulai terbiasa dengan segala tindakan fisioterapis. Bahkan, pemain juga mulai aktif bertanya, baik secara langsung maupun via ponsel untuk berkonsultasi tentang kondisinya.

Saking dekatnya dengan pemain, Nella mulai menjalani tugas ganda. Selain menerima keluhan pemain tentang kondisi fisiknya, dia sering menerima curhat para pemain. 

Meski demikian, dia merasa nyaman-nyaman saja karena semakin dekat dengan pemain. "Ya" saya juga bingung. Pemain itu kadang curhat. Bukan cuma masalah hati, tapi juga keluarga. Mau tidak mau saya terima karena itu cukup positif untuk membantu kerja saya, dicurhati sekaligus fisioterapi," ucapnya lantas tertawa.

Namun, sebagai satu-satunya perempuan, Nella juga pernah merasakan tingkah para pemain. Karena merasa kurang diperhatikan, ada pemain yang iri dan sewot. Otomatis, dia pun harus menyesuaikan dan mengubah pola komunikasi.

"Ini pemain kok iri-irian. Ya, terpaksa saya harus mengerti dan memberikan perhatian yang sama. Dengan demikian, mereka merasa diperlakukan secara adil," cetusnya. 

Nella mengaku, bertugas di lapangan sangat berbeda dengan di mes. Dia juga sempat gugup luar biasa. Sebagai perempuan, dia harus bertemu suasana lapangan yang sangat ramai. Itu berbeda jauh dengan pelajaran yang didapat selama ini, yakni menjalani fisioterapi di tempat yang relatif tenang.

Atmosfer ISL yang tak pernah dilupakannya adalah saat mendampingi tim menjalani laga away melawan Arema Malang pada 28 Februari lalu. Saat itu dia harus masuk ke lapangan untuk memeriksa pemain yang kesakitan. 

Saat dia berlari masuk lapangan, Aremania yang melihatnya kompak bersorak. Tak pernah merasakan atmosfer penonton yang sangat ramai di Stadion Kanjuruhan, Malang, Nella langsung nervous.

"Sempat kaget, gugup. Rasanya kaki ini berat untuk melangkah. Mau kembali ke bench salah. Itu pengalaman yang sangat luar biasa. Saya semakin cinta dengan sepak bola dan atmosfernya di Indonesia," ucap putri pasangan Agam Naga Figana dan Diana Rumi tersebut.

Jatuh cinta dengan sepak bola, Nella berharap ke depan semakin banyak fisioterapis perempuan yang terjun ke sepak bola. Tapi, yang utama, dia ingin klub sepak bola mengerti akan pentingnya fisioterapis untuk membantu memaksimalkan penanganan kondisi pemain berdasar sport science.

Dengan apa yang sudah didapatkannya, dara kelahiran 16 November 1991 tersebut memiliki cita-cita tinggi. Nella ingin merasakan menjadi fisioterapis untuk timnas. Sebab, itu akan menjadi salah satu pengabdiaannya kepada negara.

0 komentar:

Post a Comment